Sebetulnya yang dapat dianggap sebagai sejarah pengujian
konstitusional ialah putusan Supreme Court (Mahkamah Agung) AS atas
kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803. Sejak saat itu “wabah” pengujian konstitusional atau yang populer
disebut judicial review ini mulai menyebar dan akhirnya
mendapat kedudukan yang penting dalam dunia hukum seperti sekarang ini.
Begitu fenomenal dan luar biasanya putusan “Marbury
vs Madison” ini, William H. Rehnquist menyebut kasus ini sebagai “most famous case ever decided by the US
Supreme Court.”[1] Selain itu para pakar juga menyebut kasus
ini dengan berbagai sebutan/istilah,
antara lain ‘most brilliant innovation’ atau
‘landmark decision’ bahkan ada pula
yang menyebutnya dengan nada penuh pujian sebagai ‘single most important decision in American Constitutional Law.’[2]
Kasus ini sendiri bermula pada saat John Adams yang
dikenal sebagai tokoh Federalist (Partai Federal) menjabat sebagai Presiden AS yang kedua untuk
masa jabatan 1797-1801. Persoalan mulai muncul ketika John Adams sebagai incumbent pada Pemilu tahun 1800 kalah
dari pesaingnya Tohmas Jefferson dan Aaron Burr.[3]
Sementara yang memenangkan Pemilu adalah Thomas Jefferson dari Partai
Democratic Republic.[4] Oleh kerananya, menurut
konstitusi, yang akan menjadi Presiden selanjutnya untuk masa bakti 1801-1805
adalah Thomas Jefferson. Ia akan mulai menjabat sebagai presiden pada tanggal 4 Maret 1801.
Dalam masa peralihan menjelang pergantian presiden
itulah John Adams membuat banyak kebijakan dan keputusan yang menurut banyak
analis dianggap sebagai upaya nepotisme atau upaya untuk mendudukan teman dekat
dan kerabatnya pada posisi-posisi tertentu sebelum ia digantikan oleh Presiden
terpilih Thomas Jefferson. Salah satu diantara mereka yang ditempatkan oleh
John Adams itu adalah John Marshall. Sebelumnya ia adalah Secretary of State (Menteri Sekretaris Negara) namun kemudian
diangkat oleh John Adams menjadi Ketua Mahakamah Agung AS (Chief Justice).[5]
Pengangkatan-pengangkatan yang demikian ternyata
terus menerus dilakukan oleh John Adams, bahkan hingga detik-detik terakhir
pergantian presiden, yaitu malam tanggal 3 Maret menjelang dini hari tanggal 4
Maret 1801. Di waktu-waktu terakhir itu John Adams masih sibuk menandatangani
beberapa surat keputusan penganggakatan hakim perdamaian (justice of piece) dengan dibantu oleh John Marshall yang ketika
itu merangkap jabatan sebagai Secretary
of State sekaligus Chief of Supreme
Court.[6]
Sebetulnya tindakan penandatanganan surat keputusan
pengangkatan (commission) itu dapat
dikatakan hanya bersifat administratif (penetapan) saja, karena secara
prosedural, ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat pengangkatan itu sudah
ditempuh sebelumnya. Misalnya telah mendapat persetujuan Senat dan sebagainya.
Mereka-mereka yang namanya tercantum dalam surat
pengangkatan hakim perdamaian itu antara lain ialah William Marbury,[7] Denis Ramsay, Robert
Townsend, William Harper. Karena surat pengangkatannya itu ditandatangani dan dicap
di detik-detik terakhir menjelang pergantian Presiden dari John Adams ke Thomas
Jefferson (4 Maret 1801), William Marbury dan kawan-kawannya itu kemudian
dijuluki sebagai “midnight judges”.[8]
Celakanya, karena ditandatangani dalam waktu yang
sempit dan tergesa-gesa, salinan surat pengangkatan tersebut tidak sempat
diserahterimakan kepada yang bersangkutan sebagaimana mestinya karena esok
harinya, tanggal 4 Maret 1801 adalah hari pergantian presiden dari John Adams
ke Thomas Jefferson. Akhirnya surat-surat tersebut ditahan di kantor
kepresidenan oleh James Madison yang diangkat oleh Presiden Thomas Jefferson sebagai
Secretary of State untuk menggantikan
John Marshall yang telah duduk di bangku Supreme
Court.[9] Madison menahan surat itu
karena dianggap sudah tidak relevan karena Presiden sudah berganti dari John
Adams ke Thomas Jefferson.[10]
Di pihak lain, Marbury dkk yang menganggap proses
pengangkatannya konstitusional dan telah memenuhi prosedur yang benar, tidak
begitu saja menerima penahanan surat tersebut. Pada Desember 1801, Marbury melalui
kuasa hukumnya Charles Lee (Mantan Jaksa Agung Federal) mengajukan tuntuan
kepada Mahkamah Agung Federal agar sesuai kewenangannya berdasarkan section 13 Judiciary Act 1789
mengeluarkan Writs of Mandamus[11],
agar Pemerintah Federal menyerahkan salinan surat pengangkatan mereka
sebagaimana mestinya.
Kasus ini sendiri pada waktu itu sangat
kontroversial dan menyita perhatian. Sementara publik pada umumnya tidak
bersimpati terhadap permohonan Pemohon (Marbury dkk). Dalam perjalanannya,
persidangan yang sebetulnya kental dengan nuansa politis ini sempat mendapat
resistensi dari Pemerintahan Thomas Jefferson yang kala itu juga menguasai
Kongres. Pemerintah yang pada waktu itu diwakili oleh Secretary of State James Madison menolak memberikan keterangan di
persidangan. Di pihak lain, Kongres mengesahkan undang-undang yang pada
pokoknya berisi penundaan seluruh persidangan Supreme Court selama 14 bulan, dari Desember 1801 hingga Februari
1803.[12]
Setelah menjalani tahun tanpa persidangan (1802),
persidangan atas kasus Marbury versus Madison ini kembali digelar pada Februari
1803. Setelah melalui proses yang cukup panjang dengan resistensi yang kuat
dari pemerintahaan Thomas Jefferson dan Kongres yang mendukungnya, Supreme Court dibawah pimpinan John
Marshall akhirnya menjatuhkan putusan atas kasus tersebut pada bulan itu juga
(Februari 1803).
Putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung AS
sendiri memuat banyak keunikan dan penemuan hukum yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Pada pokoknya putusan tersebut menolak tuntutan Marbury dkk yang meminta agar
MA mengeluarkan Writs of Mandamus
berdasarkan Judiciary Act 1789. Uniknya
di dalam pertimbangan hukumnya (ratio
decidendi) MA justru membenarkan dalil-dalil (posita) Pemohon dan menyatakan
bahwa sebetulnya permohonan Pemohon beralasan hukum. Dengan kata lain Pemohon
memiliki memiliki kedudukan hukum serta memiliki alas hukum (berhak) yang sah
atas apa yang ia tuntut (surat pengangkatan hakim perdamaian; commission).[13] Akan tetapi mengapa
kemudian amar putusannya justru menolak tuntutan Pemohon ?
Permohonan Marbury dkk ditolak bukan karena
alasan-alasan permohonannya (posita) tidak dapat diterima atau tidak beralasan
hukum, melainkan karena tuntutan mereka (petitum) yang meminta MA mengeluarkan Writs of Mandamus berdasarkan Section 13 Judiciary Act 1789 yang tidak
dapat dipenuhi oleh MA. Sebaliknya, MA justru menilai ketentuan Judiciary Act 1789 yang dijadikan dasar
bagi Marbury dkk untuk meminta MA mengeluarkan writ of mandamus itu tidak sesuai dan bertentangan dengan Article
III Section 2 Konstitusi AS. Oleh karena itu MA tidak bisa mengabulkan tuntutan
Pemohon dan justru malah membatalkan Judiciary
Act 1789 karena dianggap inkonstitusional.
Dari putusan itulah kemudian mekanisme judicial review ditemukan dan
dikembangkan dalam praktek penegakan konstitusi. Mahkamah Agung AS telah melakukan penerobosan hukum dan penemuan
hukum (rechtsvinding) dalam taraf
yang sangat luar biasa yang akhirnya melahirkan sistem yang sama sekali baru,
tidak hanya di Amerika melainkan diseluruh dunia. Pada waktu putusan itu
dijatuhkan, tidak ada satu pasal atau satu ayat pun dari Konstitusi AS yang
memberikan ruang/wewenang bagi Mahkamah
Agung untuk membatalkan suatu undang-undang.
Di dalam salah satu pertimbangan hukumnya, Supreme Court mendalilkan pertimbangan
sebagai berikut:
“It one of the purpose of written constitution to
define and limit the powers of the legislature. The legislature cannot be
permittes to pass statutes contrary to a constitution, if the letter is to
prevail as superior law. A court avoid choosing between the constitution and a
conflicting statute when both are relevant to a case which the court is asked
to decide. Since the constitution is paramount
law, judges have no choice but to prefer it to refuse to give effect to the
latter.”[14]
Di dalam mengambil putusan fenomenal tersebut Chief Justice John Marshall mengemukakan
tiga alasan mengapa ia sampai pada putusan itu. Pertama, hakim bersumpah untuk menujunjung tinggi konstitusi,
sehingga jika ada peraturan yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, maka
hakim harus melakukan pengujian terhadap peraturan tersebut. Kedua, Konstitusi adalah the supreme law of the land sehingga
harus ada peluang pengujian terhadap peraturan yang ada dibawahnya agar isi
konstitusi itu tidak dilanggar. Ketiga,
hakim tidak boleh menolak perkara sehingga kalau ada yang mengajukan permintaan
judicial review, permintaan tersebut
haruslah dipenuhi.[15]
Demikian itulah sekilas sejarah judicial review yang berasal dari putusan fenomenal Supreme Court AS pada tahun 1803 yang
kala itu diketuai oleh John Marshall. Meskipun awalnya putusan tersebut mengundang
reaksi, kontroversi, bahkan cercaan dari banyak pihak, namun secara umum
putusan itu diterima juga dalam sistem hukum Amerika. Buktinya tujuh tahun
berselang, tahun 1810, Supreme Court
yang diketuai John Marshall kembali melakukan judicial review dalam kasus yang dikenal dengan sebutan kasus
Fletcher versus Peck.[16] Bahkan lama kelamaan
seiring dengan berjalannya waktu dan kebutuhan yang nyata akan pengujian
konstitusionalitas norma hukum, mekanisme judicial
review semakin melembaga dan semakin dibutuhkan.
Praktek yang terjadi di
Amerika Serikat pada 1803 melalui putusan Marbury versus Madison itu kemudian
menjadi perbincangan dan perdebatan dikalangan ahli hukum, tidak saja di Amerika
Serikat sendiri, melainkan di seluruh dunia. Hingga pada akhirnya sistem ini
dipelajari, diserap, dan dipraketkan oleh banyak negara di dunia dengan
penyesuaian dan modifikasinya masing-masing sesuai dengan latar belakang
sejarah, sistem hukum, konstruksi kekuasaan kehakiman, serta hal-hal lainnya
yang pada akhirnya menjadikan judicial
review ini sebagai tren yang sangat maju di dalam hukum konstitusi
diseluruh dunia.[17]
[1] William H.
Rehnquist, The Supreme Court: How It Was,
How It Is, William Marrow, New York, 1989, hlm. 114.
[2] Erwin
Chemerinsky, Constitutional Law:
Principles and Policies, Aspen Law & Bussiness, New York, 1997, hlm.
36.
[3] Lihat penjelasan
lebih lanjut seputar “krisis” Pemilu Presiden AS tahun 1800 ini, antara lain
dalam Susan Dunn, Jefferson's Second Revolution: The Election Crisis of 1800
and the Triumph of Republicanism, Houghton Mifflin Company, New York, 2004.
[4] Untuk diketahui,
Partai Democratic Republic yang dipelopori oleh Thomas Jefferson inilah yang
menjadi cikal bakal dari Partai Demokrat sebagaimana yang kita kenal sekarang
ini.
[5] Jimly
Asshiddiqie, Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan MK, http://jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasan-pembentukan-mk/,
Diakses pada tanggal 16 Juni 2016.
[6] Ibid.
[7] William
Marbury sendiri diangkat menjadi Hakim Perdamaian (Justice of Pece) untuk
Wilayah Washington D.C
[8] William H.
Rehnquist, The Supreme Court (Revised and
Update), Vintage Books – Random House,
New York, 2002, hlm. 26-27.
[9] Ibid.
[10] Lihat Jimly
Asshiddiqie, Model-Model
Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Op.Cit.,
hlm. 17.
[11] Writ of Mandamus ini sendiri dalam
sistem hukum Amerika Serikat dapat diartikan sebagai surat perintah yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Tertinggi (Mahkamah Agung) kepada organ tertentu
termasuk Pemerintah agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang
menjadi kewajiban hukumnya. Lihat penjelasan lebih lanjut mengenai Writ of
Mandamus ini, antara lain dalam Wikipedia,
Mandamus, https://en.wikipedia.org/wiki/Mandamus.
[12] William H.
Rehnquist, The Supreme Court: How It Was,
How It Is, Op. Cit., 110.
[13] Dalam
pertimbangan hukumnya yang membenarkan kedudukan hukum serta hak Marbury dkk
atas Surat Pengangkatannya sebagai Hakim Perdamaian, pada pokoknya John
Marshall mengatakan bahwa “secara konstitusional segala persyaratan yang
dibutuhkan untuk pengangkatan tersebut telah terpenuhi, Surat Pengangkatan (commission) tersebut telah
ditandatangani oleh Presiden dan telah dicap resmi. Atas dasar hal tersebut
maka menurut hukum, seharusnya Sekretaris Negara menyerahkan surat tersebut
kepada yang berhak (orang yang diangkat). Namun pada kenyataannya surat
pengangkatan itu tidak diserahkan oleh Sekretaris Negara sebagaimana mestinya.”
Lihat pada Willian H. Rehnquist, Ibid., hlm.
111.
[14] Ahmad Zaenal
Fanani, Hermeneutika Hukum sebagai Metode
Penemuan Hukum: Telaah Filsafat Hukum, (Makalah), tanpa penerbit, tanpa
tempat terbit, tanpa tahun, hlm. 11-12.
[15] John Marshall
dalam Mahfud M. D., Perdebatan Hukum Tata
Negara Pasca Amandemen Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2010, hlm. 99.
[16] Lihat Jimly
Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 33.
[17] Lihat Mauro
Cappelleti, Op. Cit., 132-135.