Undang-Undang
No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik merupakan salah satu
undang-undang yang dilahirkan dengan semangat keterbukaan dan kebebasan dalam
suasana euphoria demokrasi pasca
tumbangnya orde baru. Oleh karena dilahirkan dengan semangat keterbukaan dan
kebebasan, rupanya undang-undang tersebut mengandung kebebasan dan keleluasaan
akses terhadap informasi publik yang sangat luas. Pada saat yang bersamaan,
undang-undang tersebut kurang memenuhi unsur kejelasan (lex certa) dan ketegasan (lex
stricta) dalam mengatur mekanisme
permohonan informasi dan penyelesaian sengketa informasi. Implikasinya, muncul
celah hukum (rechtskloof) yang dapat
dimanfaatkan oleh pemohon informasi dan pemohon penyelesaian sengketa informasi
dengan permohonan permohonan yang tidak jelas, baik tujuan maupun alasannya.
Dalam
pelaksanaannya, kelemahan pengaturan syarat-syarat permohonan informasi dan
penyelesaian sengketa informasi tersebut kemudian terbukti menimbulkan masalah
yang cukup serius. Secara faktual Komisi Informasi banyak mendapati permohonan
yang diajukan dalam jumlah yang besar, baik satu persatu secara bertahap maupun
sekaligus, tanpa alasan dan tujuan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan
secara hukum. Permohonan-permohonan tersebut diajukan oleh pemohon tanpa
didasari itikad baik (goeder throuw)
untuk menyelesaikannya melalui prosedur penyelesaian sengketa informasi publik
(hukum acara) yang berlaku di Komisi Informasi. Bahkan dalam kasus konkret,
ditemukan adanya pemohon-pemohon penyelesaian sengketa informasi di Komisi
Informasi Pusat (KIP) yang mengajukan permohonan dengan jumlah ratusan dalam
rentang waktu tertentu tanpa kejelasan alasan dan tujuan. Permohonan-permohonan
semacam itu pada gilirannya terbukti mengganggu proses penyelesaian sengketa
informasi di KI, karena mau tidak mau harus diproses oleh KI, namun sayangnya proses
tersebut tidak diindahkan/diikuti dengan baik oleh pemohonnya sendiri.
Atas
dasar fakta-fakta itulah kemudian Komisi Informasi “memasukan” mekanisme pengabaian/penolakan
terhadap permohonan-permohonan yang demikian itu melalui Pasal 4 Peraturan
Komisi Informasi No. 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa
Informasi Publik (Perki PPSIP). Pasal 4 tersebut mengatur mengenai penghentian
proses penyelesaian sengketa informasi terhadap permohonan yang tidak dilakukan
dengan sungguh-sungguh dan itikad baik (vexatious
request). Rumusan dan unsur-unsur dari suatu permohonan yang tidak
dilakukan dengan sungguh-sungguh dan itikad baik tersebut dijabarkan dalam
Pasal 4 ayat (3). Terhadap permohonan yang memenuhi rumusan/unsur Pasal 4 ayat
(3) itu, KI dapat menghentikan proses penyelesaiannya dengan menetapkannya
melalui Keputusan Ketua KI.
Oleh
karena Pasal 4 Perki PPSIP tersebut mengandung ketentuan yang dapat membatasi
hak pemohon penyelesaian sengketa informasi, tak pelak ketentuan tersebut mengundang
diskursus dan polemik. Namun demikian, dapat diterangkan bahwa Pasal 4 Perki
PPSIP tersebut merupakan salah satu upaya untuk mencari jalan keluar atas kebuntuan
(rechts impasse) undang-undang No. 14
Tahun 2008 yang tidak cukup tegas mengatur syarat-syarat permohonan
penyelesaian sengketa informasi yang kemudian memungkinkan masuknya permohonan
yang sebetulnya tidak layak disengketakan karena tidak jelas alasan dan tujuan
permohonannya. Sementara telah menjadi asas umum dalam hukum acara dimana pun
bahwa kejelasan permohonan/gugatan menjadi syarat utama permohonan tersebut
untuk dapat diproses.
Proses
penolakan permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Perki PPSIP sebetulnya
juga lazim dikenal dan dipraktekan di dalam pengadilan-pengadilan meskipun
dengan istilah dan mekanisme tersendiri, seperti misalnya di pengadilan tata
usaha negara (PTUN) yang dikenal dengan istilah dismissal procces,[1]
yaitu suatu proses sebelum atau diawal persidangan guna meneliti kelengkapan,
ketepatan, atau kelayakan permohonan untuk disidangkan. Hanya saja perbedaannya
terletak pada alasan dan mekanisme penolakannya, termasuk upaya hukum yang
dapat ditempuh guna melawan keputusan penolakan (dismissal procces) tersebut. Pasal 62 UU PTUN membuka ruang untuk
upaya hukum guna melawan keputusan penolakan tersebut. Sedangkan Pasal 4 Perki
PPSIP tidak menyediakan upaya hukum yang dapat ditempuh guna melawan keputusan
penghentian proses penyelesaian sengketa.
Pembatasan
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 4 Perki PPSIP tidak dapat dipandang begitu
saja sebagai pengabaian hak atas informasi. Betul bahwa hak atas informasi
adalah hak konstitusional yang dijamin oleh UUD (Pasal 28F), namun hak tersebut
tidak serta merta dapat dituntut pemenuhannya secara sembarangan tanpa
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip umum
persidangan/ajudikasi (general principles
of adjudication). Sebab hak atau kebebasan tanpa disertai tanggung jawab
hanya akan mengacaukan kebebasan itu sendiri.[2]
Itulah sebabnya dalam perubahan kedua UUD 1945 (tentang Hak Asasi Manusia; Bab
XA) disertakan juga klausul pembatasan terhadap hak asasi manusia itu sendiri,
yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 28J. Pada pokoknya Pasal 28J ayat (2)
menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.
Berkenaan
dengan hak atas informasi, hak atas informasi sebagaimana diatur dalam Pasal
28F UUD 1945 merupakan salah satu hak asasi yang dapat dikesampingkan (derogable right) berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28J diatas.[3]
Oleh karena itu hak atas informasi tidak menutup kemungkinan untuk dibatasi,
salah satunya dengan mengatur mekanisme atau tata cara penolakan penyelesaian
sengketa informasi atas permohonan yang tidak jelas (vexatious request).
[1]
Vide Pasal 62 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[2]
Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
Edisi Revisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 230.
[3]
Disebut sebagai derogable right
karena hak atas informasi tidak termasuk kedalam kelompok hak yang disebut
dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang memuat hak-hak yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun (non-derogable
right).