Dewasa ini, hak atas informasi diakui sebagai salah satu hak asasi
manusia yang perlu mendapat jaminan perlindungan dan kepastian hukum. Dalam
pelbagai instrumen hukum internasional yang mengatur soal hak asasi manusia,
hak atas informasi atau hak memperoleh informasi dicantumkan di dalamnya
sebagai salah satu hak asasi (hak dasar) yang dijamin oleh hukum internasional.
Oleh karena itu universalitas
perlindungan dan jaminan terhadap hak atas informasi (rights to know) sudah tidak diragukan lagi, karena hak atas
informasi telah mendapat pengakuan secara universal sebagai salah satu hak yang
paling mendasar yang melekat pada setiap individu manusia dan karenanya harus
dihormati dan dipenuhi. Namun demikian pelaksanaan dan pemenuhannya disetiap
negara diserahkan sepenuhnya kepada negara yang bersangkutan dan disesuaikan
dengan kondisi di masing-masing negara.[1]
Universal Declaration of Human
Rights 1948 (UDHR 1948) telah merumuskan jaminan perlindungan terhadap hak
atas informasi. Pasal 19 UDHR 1948 menyebutkan:
“Everyone has the right to
freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions
without interference and to seek, receive and impart information and ideas
through any media and regardless of frontiers.”
Artinya: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan
menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada
suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa
memandang batas-batas wilayah.”
Meskipun deklarasi tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat
secara hukum terhadap negara-negara peserta atau penandatangannya, namun
deklarasi tersebut mempunyai pengaruh moral, politik, dan edukatif yang tiada
taranya sehingga rumusan hak-hak yang terdapat di dalamnya, termasuk juga hak atas informasi, mendapat
kekuatan tersendiri untuk dihormati oleh negara-negara di dunia ini.[2]
Pada perkembangan global selanjutnya, Komisi HAM PBB menyusun dan
mengesahkan dua kovenan internasional sebagai tindak lanjut atas UDHR 1948 agar
rumusan perlindungan HAM yang terdapat dalamnya dapat dielaborasi lebih lanjut
dan mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis bagi negara-negara
peratifikasinya. Dua kovenan internasional tersebut ialah International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan
Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) dan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik). Kedua kovenan tersebut disahkan
(diterima baik oleh Sidang Umum PBB) pada 1966 dan baru berlaku sepuluh tahun
kemudian, yaitu pada 1976 setelah memenuhi persyaratan jumlah negara peratifikasi
sebanyak 35 negara.
Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi merupakan bagian
dari hak sipil dan politik, oleh karenanya hak tersebut dimasukan/diatur dalam International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR). Hak atas informasi dirumuskan dalam Pasal 19 ayat
(2) ICCPR yang tiada lain merupakan derivasi dari ketentuan Pasal 19 UDHR 1948.
Berikut adalah bunyi Pasal 19 ayat (2) ICCPR:
“Everyone shall have the right to freedom of expression; this
right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas
of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print,
in the form of art, or through any other media of his choice.”
Artinya: “Setiap
orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk
kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran
apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk
cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.”
Indonesia sebagai
bagian dari masyarakat internasional tentu tidak terlepas dari kesepakatan
tersebut. Melalui jalan yang cukup panjang dan perdebatan yang melelahkan
akhirnya tiba giliran bagi Indonesia
untuk meratifikasi ICCPR pada tahun 2005 dengan mengesahkannya melalui UU No.
12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil
dan Politik). Ratifikasi ICCPR tentu bukan hanya sekedar tindakan pengesahan
oleh legislatif semata, melainkan menimbulkan konsekuensi yuridis bagi
Indonesia untuk melaksanakan segala ketentuan yang terdapat di dalamnya kerana
telah disahkan melalui undang-undang dan menjadi hukum positif, termasuk di
dalamnya ketentuan mengenai jaminan perlindungan terhadap hak atas informasi.
Perkembangan
keterbukaan informasi dan hak atas informasi di Indonesia, seperti juga di
negara-negara lainnya mengalami fase-fase perkembangan yang cukup panjang.
Butuh waktu lama untuk merubah rezim ketertutupan menjadi rezim keterbukaan. Dari
segi yurudis atau landasan hukum yang menjamin dan mengatur keterbukaan
informasi pun harus melalui perjalanan dan penantian yang cukup panjang.
Momentum
perubahan kearah keterbukaan informasi dan penyelenggaran negara yang terbuka dan akuntabel di negeri ini muncul
bersamaan dengan gerakan reformasi yang berhasil menumbangkan rezim orde baru
yang dianggap membelenggu hak atas informasi ketika itu. Harapan tersebut
semakin menemui titik terang dan menjadi sebuah keniscahyaan berkat kesepakatan
bangsa ini untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 yang dianggap; baik
secara langsung maupun tidak langsung, turut menyebabkan timbulnya
otoritarianisme karena berwatak executive
heavy.[3]
Pengaturan
dan jaminan hak atas informasi mendapat landasan yang sangat kokoh dengan
dirumuskannya hak tersebut dalam Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945 sebagai hasil
amandemen kedua yang dilakukan pada tahun 2000.[4]
Dengan demikian hak atas informasi telah memiliki landasan konstiusional dan
telah menjadi hak konstitusional warganegara. Pasal 28F merupakan salah satu
pasal UUD NRI Tahun 1945 yang terhimpun dalam Bab XA (Hak Asasi Manusia). Berikut ini adalah bunyi Pasal 28F UUD NRI
Tahun 1945:
“setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.”
Setelah
mempunyai landasan konstiusional melalui Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945, era keterbukaan
informasi di Indonesia menjadi suatu keniscahyaan. Pada perkembangan
selanjutnya dimulailah usaha dan perjuangan untuk membentuk undang-undang yang
akan secara komprehensif mengatur mengenai keterbukaan informasi. Usaha
tersebut dimulai sejak tahun 2000, diinisisasi oleh Koalisi untuk Kebebasan Informasi yang terdiri dari sejumlah LSM
dan perorangan yang secara aktif melakukan advokasi mengenai urgensi
Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (UU KMIP).[5]
Melalui
proses yang sangat panjang dan cukup alot, akhirnya pada tanggal 30 April 2008,
Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)
disahkan dan diundangkan. Namun berdasarkan ketentuan Pasal 64 UU KIP,
undang-undang tersebut baru akan berlaku dua (2) tahun sejak diundangkan.
Artinya, UU KIP baru berlaku pada tanggal 30 April 2010. Adanya jeda waktu dua
tahun antara waktu pengesahan dengan waktu berlakunya UU KIP dimaksudkan untuk
mempersiapkan segala hal termasuk
peraturan pelaksana serta sarana dan prasarana agar UU tersebut dapat berlaku
secara efektif.
Melalui UU
KIP itulah kemudian dibentuk suatu badan penyelesai sengketa informasi publik
yang bersifat independen yang disebut Komisi Informasi. Kehadiran Komisi
Informasi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia sebagai state auxiliary organ[6]
yang menangani dan menyelesaikan sengketa informasi publik, menambah terang era
keterbukaan informasi (openness
information age) di Indonesia.
Berdasarkan Pasal 23 UU KIP disebutkan bahwa
“Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya menetapkan
petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan Sengketa
Informasi Publik melalui Mediasi
dan/atau Ajudikasi nonlitigasi.” Berdasarkan ketentuan tersebut
dapat dikatakan bahwa Komisi Informasi adalah penjaga hak untuk tahu (the guardian of the rights to know).
Kehadiran UU
No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan dibentuknya Komisi
Informasi sebagai pelaksana UU tersebut membawa implikasi perubahan yang luas
dan mendasar dalam bidang keterbukaan informasi dan pemenuhan hak atas
informasi. Jika masa-masa sebelum lahirnya UU KIP diwarnai dengan ketertutupan
maka masa-sama setelah adanya UU KIP ditandai dengan perubahan paradigma keterbukaan. Sebelum adanya UU KIP “semua informasi publik bersifat tertutup dan rahasia kecuali
informasi tertentu yang dapat dibuka” tetapi setelah adanya UU KIP “semua
informasi publik bersifat terbuka selain yang dikecualikan menurut undang-undang.”[7]
Singkatnya Kehadiran UU
KIP dan Komisi Informasi membawa kita dari era kegelapan/ketertutupan menuju
era keterbukaan (from brown to brain).
Di dalam UU
KIP ditegaskan secara rinci hak publik atas informasi publik yang pada
hakekatnya adalah milik publik itu sendiri. Secara konsepsional, hak atas
informasi bermakna dan meliputi hak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia. Saat ini, hak atas informasi telah memiliki landasan yang kuat
karena telah diformilkan baik dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun dalam bentuk
undang-undang (UU KIP) serta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 1
angka 1 UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP memberikan definisi yuridis tentang
informasi, yaitu:
“Informasi adalah keterangan, pernyataan,
gagasan, dan tanda-tanda yang
mengandung nilai, makna, dan pesan,
baik data, fakta maupun
penjelasannya yang dapat dilihat, didengar,
dan dibaca yang disajikan dalam berbagai
kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik.”
Walaupun
istilah informasi telah didefinisikan oleh Pasal 1 angka 1 diatas namun penting
untuk dipahami bahwa tidak semua informasi dapat menjadi objek pengaturan UU
KIP. Sesuai dengan judul/namanya, UU No. 14 Tahun 2008 hanya mengatur mengenai
Keterbukaan Informasi Publik. Artinya, tidak semua informasi dapat dibuka dan
diakses oleh publik, hanya informasi publik sajalah yang dapat dibuka dan
diakses oleh publik, itu pun masih ada pengecualiannya, sebagaimana yang diatur
dalam Bab V (Pasal 17) mengenai Informasi yang Dikecualikan.[8]
Jadi hak atas informasi yang dijamin dan dilindungi pemenuhannya oleh UU KIP
adalah hak atas informasi publik.
Sedangkan
mengenai apa yang dimaksud dengan informasi publik dan bagaimana batasannya,
diuraikan dalam Pasal 1 angka 2 (Ketentuan Umum) UU KIP, yaitu:
“Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan,
dikelola, dikirim, dan/atau
diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan
penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik
lainnya yang sesuai dengan Undang-
Undang ini serta informasi lain yang
berkaitan dengan kepentingan publik.”
Dari
definisi yuridis diatas jelaslah bahwa hak atas informasi yang dapat dituntut
pemenuhannya berdasarkan UU KIP adalah hak atas informasi yang dihasilkan, disimpan,
dikelola, dikirim, dan/atau
diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan
penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik
lainnya yang sesuai dengan Undang-
Undang ini serta informasi lain yang
berkaitan dengan kepentingan publik.” Jadi singkatnya hak atas informasi
yang dijamin dan dilindungi pemenuhannya oleh UU KIP adalah hak atas informasi
yang dimiliki/dikelola oleh badan publik yang berkaitan dengan penyelenggaraan
negara atau kepentingan publik.
Sedangkan
mengenai definisi dan cakupan badan publik yang dimaksud oleh UU KIP dijelaskan
oleh Pasal 1 angka 3 UU KIP, yaitu sebagai berikut:
“Badan
Publik adalah lembaga eksekutif,
legislatif, yudikatif, danbadan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan
denganpenyelenggaraan negara, yang
sebagian atau seluruh dananyabersumber
dari anggaran pendapatan dan
belanja negaradan/atau anggaran pendapatan dan
belanja daerah,
atauorganisasi nonpemerintah
sepanjang sebagian atau seluruhdananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanjanegara dan/atau anggaran pendapatan
dan belanja daerah, sumbangan
masyarakat, dan/atau luar negeri.”
Kata publik dalam
konteks ini merupakan titik pangkal sekaligus inti perlindungan hak atas
informasi. Informasi publik yang dihasilkan,
disimpan, dikelola, dikirim,
dan/atau diterima oleh suatu Badan
Publik pada hakekatnya merupakan milik publik itu sendiri, karena badan publik tersebut dibentuk, diselenggarakan, dan
dibiayai (sebagian maupun seluruhnya) oleh publik. Oleh karena itu badan publik
tersebut memupunyai kewajiban untuk selalu dapat mempertanggungjawabkan
pelaksanaan kegiatannya kepada publik. Salah satu bentuk pertanggungjawaban
tersebut ialah melalui pembukaan akses informasi sebagai media kontrol publik
terhadap badan publik yang bersangkutan.[9]
Oleh sebab itulah dikatakan sebelumnya bahwa kepentingan publik menjadi inti
dari perlindungan hak atas informasi publik. Selama informasi itu dikategorikan
sebagai informasi publik berdasarkan rumusan dan batasan yang diberikan oleh UU
KIP maka hak untuk memperoleh dan mengaksesnya harus dijamin dan dipenuhi.
Namun sebaliknya, apabila informasi yang diminta berada dibawah kekuasaan
pribadi seseorang dan sama sekali tidak bersangkut paut dengan penyelenggaraan
negara atau kepentingan publik maka hukum keterbukaan informasi sebagai hukum
publik tidak dapat menjangkaunya. Misal: permintaan untuk membuka dan
mempublikasikan catatan-catatan pribadi seseorang yang tidak ada hubungannya
dengan kepentingan publik. Permintaan informasi yang demikian tidak dapat
dikategorikan sebagai hak atas informasi publik dan oleh karenanya tidak dapat dituntut pemenuhannya berdasarkan UU KIP.
[1] Lihat juga Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2008, hlm. 213.
[2] Ibid., hlm. 219.
[3] Mahfud M.D., Perdebatan Hukum
Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2010, hlm. 27-28.
[4] Penyebutan dan penggunaan nomenklatur “UUD NRI Tahun 1945” dimaksudkan agar sesuai dengan frasa yang
digunakan oleh UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan untuk menyebut UUD dan sekaligus menunjukan bahwa UUD NRI
Tahun 1945 adalah UUD hasil amandemen.
[5] Anotasi UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,
Komisi Informasi Pusat, Jakarta, 2009, hlm. 8.
[6] Yang dimaksud dengan state
auxiliary organ menurut Jimly Asshiddiqie adalah lembaga negara yang sifat
dan fungsinya menunjang salah satu atau ketiga cabang kekuasaan negara
(eksekutif, legislatif, yudikatif). Lihat lebih lanjut dalam buku Jimly
Asshiddiqie “Perkembangan dan Konsolidasi
Lembaga Negara Pasca Reformasi.”
[7] Bandingkan dengan Centre for Law and Democracy, Penafsiran atas Pengecualian dalam Hak atas
Informasi: Pengalaman di Indonesia dan Negara Lain, Centre for Law and
Democracy dan ICEL, tanpa tempat terbit, 2012, hlm. 7.
[8] Jenis-Jenis Informasi Publik yang dikecualikan disebutkan dalam
Pasal 17 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
[9] Lihat juga Centre for Law and Democracy, Op.Cit., hlm. 8.