Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Selasa, 05 Mei 2015

Constitutional Question atau Pengujian Norma Konkret sebagai Bagian dari Sistem Pengujian Konstitusional





Constitutional question atau pengujian norma konkret merupakan bagian dari sistem pengujian konstitusional atau judicial review. Constitutional question atau pengujian norma konkret itu sendiri hanya salah satu mekanisme saja dari pengujian konstitusional yang secara garis besar terdiri dari dua mekanisme pengujian; (i) pengujian norma abstrak dan (ii) pengujian norma konkret. Mekanisme yang disebut terakhir itulah yang kemudian diistilahkan dengan sebutan constitutional question.
Secara singkat dapat diartikan bahwa pengujian norma abstrak adalah pengujian terhadap undang-undang secara abstrak, dalam arti undang-undang yang diuji itu tidak terkait dengan suatu kasus konkret di pengadilan. Sedangkan pengujian norma konkret adalah pengujian terhadap suatu undang-undang dalam kaitannya dengan kasus konkret yang sedang berjalan di pengadilan.
Hal yang paling prinsip diantara keduanya ialah, baik pengujian norma abstrak maupun pengujian norma konkret atau yang dikenal dengan istilah constitutional question, keduanya sama-sama merupakan mekanisme dalam kerangka pengujian konstitusional, yakni sama-sama bertujuan untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang.[1] Bedanya, mekanisme pertama ditujukan untuk menguji undang-undang dalam kondisi in abstracto, dalam arti tidak sedang dalam penerapan oleh pengadilan, sedangkan mekanisme yang kedua ditujukan untuk menguji undang-undang dalam kondisi in concreto, dalam arti undang-undang tersebut sedang dalam penerapan oleh pengadilan (dalam suatu kasus konkret).
Istilah Pengujian Norma Konkret (Concrete Norm Review) sebetulnya lebih umum daripada istilah Constitutional Question, karena istilah yang disebut pertama itu dikenal/dipergunakan juga di negara-negara yang meletakan kewenangan judicial review pada Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya atau yang menganut model decentralized judical review (judicial review yang tersebar) seperti Amerika Serikat. Istilah Pengujian Norma Konkret dipergunakan di negara-negara yang menganut decentralized judicial review karena merujuk pada objek pengujiannya yang berupa norma undang-undang atau peraturan lain dalam kaitannya dengan kasus konkret. Dengan kata lain, disebut “Pengujian Norma Konkret” karena memang judicial review di negara-negara tersebut hanya dapat digerakan/diajukan jika persoalan konstitusionalitas suatu undang-undang itu terjelma dalam kasus konkret yang sedang berjalan di pengadilan.
Pada mulanya, mekanisme pengujian norma konkret ini merupakan ciri khas dari sistem pengujian konstitusional atau judicial review di negara-negara yang menganut model judicial review yang tersebar (decentralized judicial review), dimana kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD (Konstitusi) diberikan kepada MA dan peradilan yang ada dibawahnya tanpa membentuk lembaga khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi. Model ini dipelopori oleh Amerika Serikat. Disana, judicial review atau pengujian norma hukum baik berupa undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya hanya dapat dilakukan apabila persoalan konstitusionalitas itu muncul dalam suatu kasus konkret yang sedang berjalan di pengadilan. Dengan kata lain, judcial review hanya dapat digerakan dan berasal dari adanya kasus konkret. Pengujian pada model ini dilakukan secara langsung bersamaan dengan pemeriksaan kasus konkret yang dimaksud oleh hakim-hakim yang menangani kasus tersebut.[2]
Perkembangan ketatanegaraan dewasa ini, khususnya di bidang pengujian konstitusional di negara-negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi ternyata menunjukan tren yang mengarah pada pengadopsian Pengujian Norma Konkret atau dalam bahasa Jerman disebut Konkrete Normenkontrolle.
Ruang Pengujian Norma Konkret dibuka guna melengkapi sistem pengujian konstitusional yang semula hanya menguji norma abstrak. Hal ini dilakukan dalam upaya meningkatkan ruang pencarian keadilan konstitusional bagi mereka yang dirugikan oleh suatu undang-undang atau peraturan manakala masyarakat dihadapkan pada kasus konkret yang sedang ia hadapi di pengadilan. Dari sisi pengadilan, pengujian norma konkret ini dapat menjadi jalan keluar bagi hakim yang merasa ragu akan konstitusionalitas sebuah norma hukum yang menjadi dasar dari perkara yang sedang ia tangani karena ia dapat menyalurkan/menyerahkan keraguannya tersebut pada Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, melalui pengujian konstitusional yang dilakukan dengan cara Constitutional Question ini para hakim di pengadilan biasa tidak “dipaksa” menerapkan undang-undang yang dianggapnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Sehubungan dengan hal tersebut, Leon Duguit di dalam tulisannya yang menguraikan pertentangan antara teori supremasi parlemen dan supremasi konstitusi dalam memandang independesi dan kemerdekaan hakim untuk menolak menerapkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi menyatakan bahwa:
A court which refuse to apply a staute on the grounds of unconstitutionality does not interferce with the exercise of legislative powers. It does not suspend application. The law remains untouched ..... it is simply because the judicial power is distinct from and independent equal to the two others that it cannot be forced to apply the statutes it deems unconstitutional.”[3]
Istilah constitutional question itu sendiri memiliki dua pengertian, umum dan khusus. Dalam pengertian yang umum, constitutional question diartikan sebagai persoalan yang berkaitan dengan konstitusi dan yang lazimnya merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutusnya.[4] Sedangkan dalam pengertiannya yang khusus, constitutional question adalah suatu mekanisme dimana hakim-hakim pada peradilan biasa dapat mengajukan permohonan pengujian konstitusional (pertanyaan konstitusional) kepada Mahkamah Konstitusi perihal suatu undang—undang yang ia ragukan konstitusionalitasnya dalam kaitannya dengan perkara/kasus konkret yang sedang ia tangani. Namun demikian, Mahkamah Konstitusi hanya memutus persoalan konstitusionalitas undang-undangnya saja, tidak  memutus kasus konkretnya. Selama Mahkamah Konstitusi belum menjatuhkan putusannya, pemeriksaan terhadap kasus tersebut dihentikan sementara.[5]
Sejarah kelahiran constitutional question tidak terlepas dari sejarah berdirinya Mahkamah Konstitusi, sebab mekanisme constitutional question itu sendiri adalah bagian dari kewenangan MK dalam area pengujian konstitusional. Sebagaimana diketahui, ide membentuk Mahkamah Konstitusi yang pertama kali digagas oleh Hans Kelsen tidak lain ialah untuk menegakkan konstitusi dengan kewenangan utama membatalkan undang-undang jika undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi.[6]
Dengan demikian, fungsi Mahkamah Konstitusi adalah melaksanakan pengujian konstitusional atau constitutional review. Ada dua tugas utama yang diemban oleh Mahkamah Konstitusi melalui kewenangannya melakukan pengujian konstitusional. Pertama, menjaga berfungsinya proses-proses demokrasi dalam hubungan saling mempengaruhi antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan kata lain, constitutional review bertugas mencegah perebutan kekuasaan oleh salah satu cabang kekuasaan negara dengan mengorbankan cabang-cabang kekuasaan negara lainnya. Kedua, yang tidak kalah pentingnya dan berkait erat dengan tugas pertama itu ialah untuk melindungi hak-hak atau kehidupan pribadi warga negara dari pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu cabang kekuasaan negara.[7]
Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi adalah upaya untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum dan memberi perlindungan maksimum terhadap hak-hak dasar warga negara.[8] Perlindungan terhadap hak-hak dasar ini menjadi penting digarisbawahi dalam setiap negara hukum (yang demokratis) yang menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi di negara yang bersangkutan (supreme law of the land), karena tatkala hak-hak dasar itu dimasukkan ke dalam konstitusi, yang berarti telah menjadi bagian dari konstitusi, maka ia mengikat seluruh cabang kekuasaan negara.[9]
Berdasarkan pengantar di atas jelaslah bahwa diadopsinya mekanisme constitutional question dalam sistem peradilan konstitusi (constitutional adjudication) adalah sebagai bagian dari pemberian perlindungan maksimum terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Perlindungan demikian merupakan syarat yang tak dapat ditiadakan dalam setiap negara hukum yang demokratis.[10]
Dalam pada itu tepatlah kiranya jika Donald Horowitz mengatakan bahwa melalui kewenangan untuk mengadili masalah-masalah yang berkait dengan konstitusi, sekaligus kewenangan untuk “memaksakan” pentaatan terhadap konstitusi, Mahkamah Konstitusi telah menjadikan konstitusi benar-benar sebagai dokumen yang hidup (a living document) yang memberi bentuk dan arah kekuasaan politik dalam suatu negara, bukan sekadar kumpulan kalimat-kalimat simbolik atau aspirasional. Dengan cara yang demikian, Mahkamah Konstitusi memberi kontribusi besar bukan hanya bagi terciptanya negara hukum tetapi juga bagi demokrasi.[11]



[1] Lihat Muchamad Ali Safa’at, “Menggagas Constitutional Question di Indonesia” Majalah Konstitusi Berita Mahkamah Konstitusi, Desember 2009, hlm. 1 dan 5.
[2] Lihat Mauro Cappelleti, The Judicial Process Comperative Perspective, Clarendon Press, Oxford, 1989, hlm. 133-135.
[3] Leon Duguit dalam Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Op. Cit., hlm. 22-23.
[4] Lihat Donald P. Kommers, The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, Durham and London, Duke University Press, 1989, hlm. 1.
[5] Victor Ferreres Comella, “Is the European Model of Constitutional Review in Crisis”, paper presented for the 12th Annual Conference on ‘the Individual Vs. the State’, Central European University, Budapest, June 18-19, 2004, hlm. 4.
[6] Herman Schwartz, Loc.Cit.
[7] H. Hausmaninger, The Austrian Legal System, Wien, Manzsche Verlags- und Universitätsbuchhandlung, 2003, hlm. 139.
[8] Trevor L. Brown & Charles R. Wise, “Constitutional Courts and Legislative-Executive Relations: The Case of Ukraine”, Political Science Quarterly, Vol. 119, No. 1, 1994, hlm. 155.
[9] I Dewa Gede Palguna, Constitutional Question: Latar Belakang dan Praktik Di Negara Lain Serta Kemungkinan Penerapannya Di Indonesia, Makalah Pada Seminar Nasional “Mekanisme Constitutional Question Sebagai Sarana Menjamin Supremasi Konstitusi” yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Konstitusi (PPK) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya bekerjasama dengan Setjen dan Kepaniteraan MK RI di Malang, 21 November 2009, hlm. 3; lebih lanjut dapat dilihat dalam Durga Das Basu, Human Rights in Constitutional Law, Wadhwa and Company, New Delhi- Nagpur-Agra, 2003, khususnya hlm. 48-78 dan hlm. 107-135.
[10]  I Dewa Gede Palguna, Ibid., hlm. 4.
[11] Donald L. Horowitz, “Constitutional Courts: A Primer for Decision Makers” dalam Journal of Democracy, Volume 17, Number 4, October 2006, hlm. 126.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar