Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Selasa, 03 Februari 2015

Pengujian Konstitusional (Constitutional Review) di Jerman


Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman (Bundesverfassung gericht) merupakan satu proses perjalanan panjang dalam upaya menegakan negara demokratik konstitusional setelah sebelumnya Jerman jatuh ke dalam era yang mengerikan dibawah Pemerintahan Nazi. Pembentukan MK  Jerman  ditetapkan dalam Basic Law 1949 (Grundgesetz). Mahkamah Konstitusi Jerman berkedudukan di Kalsruhe, sebuah kota yang disebut sebagai ibu kotanya hukum, karena di kota itulah pengadilan-pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung Jerman bertempat.[1]
Jauh sebelum berlakunya Basic Law 1949, yakni sejak masa Konfederasi Jerman 1815, sebetulnya telah dibentuk semacam Peradilan Negara (State Adjudication). Ide pembentukan Peradilan Negara itu dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk menangani sengketa kewenangan antar negara bagian dibawah Konfederasi Jerman 1815. Jadi kompetensi daripada Peradilan Negara ini ialah menyelesaikan sengketa kewenangan antar negara bagian yang bernaung di bawah Konfederasi Jerman yang ketika itu berjumlah sekitar 36 negara bagian.[2] Peradilan negara itulah yang menjadi cikal bakal dari MK Jerman yang kita kenal sekarang.
Dalam perjalanannya, Peradilan Negara tersebut ternyata tidak berhasil menunjukan eksistensi dan supremasinya. Hal tersebut disebabkan karena pada waktu itu persoalan HAM tidak mendapat perhatian serius di Jerman.[3]
Perkembangan ketatanegaraan Jerman memasuki babak baru dalam periode Konstitusi Weimar 11 Agustus 1919. Melalui Konstitusi Weimar dibentuklah sebuah organ bernama Staatsgerichtshof/Reichgerichtshof. Organ ini disebut-sebut sebagai embrio dari MK Jerman.[4] Organ tersebut memperoleh wewenang menyelesaikan sengketa antara Kekaisaran dengan negara bagian dan sengketa antar negara bagian. Akan tetapi sayangnya mekanisme perlindungan HAM dan judicial review pada periode ini kurang berkembang karena dianggap bertentangan dengan teori konstitusional pada waktu itu.[5]
Pada periode Konstitusi Weimar (1919-1933), Reichgerichtshof dan lembaga judicial review lebih banyak dilingkupi aneka kontroversi daripada prestasi. Akibatnya Reichgerichtshof oleh banyak kalangan, salah satunya Carl Schmitt, dinilai telah gagal menjalankan tugas sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution).[6]
Pengalaman kegagalan demi kegagalan dalam merancang Peradilan Negara guna menegakan konstitusi di Jerman kemudian menjadi pelajaran yang berharga bagi bangsa Jerman. Setelah periode Konstitusi Weimar berlalu, para konseptor ketatanegaraan Jerman berusaha merancang kembali bangunan peradilan (konstitusi) yang ideal. Diantara ahli hukum itu terdapat tiga nama penting yang besar pengaruhnya dalam menggagas berdirinya MK Jerman sebagai institusi peradilan yang mandiri dan terpisah dari MA. Mereka adalah Richrad Thoma, Gerhard Anschutz, dan Gustav Radbruch. Bagi mereka, tugas dan kewajiban konstitusional seyogianya dilaksanakan oleh MK, bukan peradilan biasa[7].
Dalam peristiwa penting pembaharuan sistem Ketatanegaraan Jerman 1948 yang dikenal dengan “Rapat Besar Konstitusi” di Herrenchiemsee,[8] semangat pembentukan MK Jerman nampaknya sudah tidak terbendung lagi. Dalam rapat tersebut dicapai kesepakatan perlunya Constitutional Judicature dalam struktur ketatanegaraan Jerman. Rapat tersebut telah berhasil menetapkan substansi-substansi penting bagi Konstitusi (Basic Law) yang akan disahkan dikemudian hari. Salah satu substansi penting itu ialah disepakatinya pembentukan Mahkamah Konstitusi, lengkap dengan kewenangannya yang luas dan lebih kuat dari Staatsgerichtshof sehingga diharapkan dapat menjadi tumpuan harapan dan garda terdepan dalam menjamin tegaknya konstitusi dan perlindungan HAM di Jerman.
Dalam tulisan Martin Borowski yang salah satu bagiannya mengulas sejarah singkat penyusunan Konstitusi Jerman 1949, diceritakan bahwa:
The conference—whose participants’ expertise is an established fact—worked up a draft of a constitution as a guideline for the deliberations that would follow. They succeeded in setting down many of the fundamentals of the forthcoming constitution. The draft of the Herrenchiemsee Conference (HChE) comprises, in section viii, arts. 97 to 100, an independent section respecting the Federal Constitutional Court; ..... the Herrenchiemsee Conference emphasizes that the powers of the constitutional court, by comparison with those of the Staatsgerichtshof of the Weimar Constitution, ought to be enlarged. In this way, the new constitution could become the “real guardian of the constitution.”[9]
Akhirnya, melalui pengesahan Basic Law pada 23 Mei 1949, lahirlah sebuah institusi peradilan baru yang dirancang untuk menangani perkara-perkara konstitusional yang bernama “Bundes Verfassungsgericht” atau Mahkamah Konstitusi Jerman.
Kelembagaan
Hakim MK berjumlah 16 orang; 8 orang mengisi panel pertama (panel hak-hak dasar) dan 8 lainnya mengisi panel kedua (panel politik).[10] Dalam tubuh MK Jerman, terdapat dua panel tetap:[11]
1.   Panel pertama bertugas menangani persoalan-persoalan terkait hak-hak dasar (basic right);
2.   Panel kedua bertugas menangani masalah-masalah politik, termasuk sengketa konstitusional dan pengujian undang-undang.
Kendati MK Jerman terbagi atas dua panel hakim, namun putusan harus diputuskan dan diucap oleh seluruh hakim yang berjumlah 16 orang dalam sebuah plenum (sidang pleno). Hal ini dimaksudkan untuk menjaga konsistensi putusan MK.
Sri Soemantri menjelaskan bahwa pembelahan di dalam tubuh MK Jerman menjadi dua panel dilatarbelakangi oleh dua alasan. Pertama, sebagai hasil kompromi antara dua keinginan dimana yang pertama menghendaki hakim-hakim dibagi kedalam panel-panel dan yang kedua menghendaki agar semua hakim duduk dalam satu majelis seperti yang dilakukan Supreme Court di Amerika. Kedua, sebagai hasil kompromi/alternatif antara mereka yang memandang MK hanya sebagai institusi hukum semata dengan yang memandang MK sebagai institusi politik. Atas dasar itulah kemudian disepakati dibentuknya dua panel, panel pertama menangani kasus-kasus hukum sedang panel kedua menangani kasus-kasus yang bersifat politis, tepatnya pengujian terhadap penggunaan kekuasaan negara. Namun ketika memutus suatu perkara, mereka semua berkumpul dalam suatu plenum.[12]
Kompetensi
Kewenangan MK Jerman menurut Konstitusi dan UU MK Jerman adalah sebagai berikut:
1.        Memutus sengketa kewenangan organ-organ negara antara:
a.         Pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian; atau
b.        Antara organ federal yang satu dengan organ federal yang lainnya yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi;[13]
2.    Menguji peraturan perundang-undangan secara abstrak (a posteriori asbtract review) atas permohonan Pemerintah Federal, Pemerintah Negara Bagian, atau ¼ anggota Bundestag (DPR), yang meliputi:
a.   Pengujian peraturan perundang-undangan, baik tingkat federal maupun tingkat negara bagian terhadap Konstitusi Federal; dan
b.   Pengujian peraturan perundang-undangan tingkat negara bagian terhadap undang-undang federal. [14]
3.    Memutus permohonan yang diajukan oleh Bundesrat, Pemerintah atau Legislatif Negara Bagian tentang persoalan apakah suatu undang-undang jatuh dalam yurisidiksi Legislatif Federal atau Legislatif Negara Bagian;[15]
4.       Memutus perbedaan pendapat mengenai hak dan kewajiban antara Pemerintah Federal dengan Pemerintah Negara Bagian akibat pelaksanaan UU Federal oleh Negara Bagian dan memutus keberatan Negara Bagian atas pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh Federal;[16]
5.   Memutus sengketa hukum yang bersifat publik (public law) lainnya yang terjadi antara Pemerintah Federal dengan Pemerintah Negara Bagian, antar Negara Bagian, atau inter (di dalam) suatu Negara Bagian, sepanjang tidak ada mekanisme lain yang dapat ditempuh di pengadilan lain di luar MK;[17]
6.    Mengadili permohonan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) yang diajukan oleh;[18]
a.     Individu/perorangan warga negara yang merasa hak-hak dasar atau hak konstitusionalnya dilanggar oleh organ negara; dan
b.  Pemerintah Kota atau Perkumpulan Pemerintah Kota yang merasa hak otonomi pemerintahannya (sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Basic Law 1949) dilanggar, baik oleh UU Federal maupun UU Negara Bagian.[19]
7.     Memutus dugaan/permohonan pemberhentian hakim dari seluruh organ peradilan di Jerman atas dugaan melanggar konstitusi berdasarkan usulan Bundestag.[20]
8.    Menguji peraturan perundang-undangan secara konkret berdasarkan permohonan yang diajukan oleh hakim (concrete judicial review/constitutional question) manakala ia meragukan konstitusionalitas atau legalitas suatu norma hukum yang akan ia terapkan dalam kasus konkret yang sedang ditanganinya. Concrete review ini meliputi:
a.    Pengujian peraturan perundang-undangan, baik tingkat federal maupun tingkat negara bagian terhadap Konstitusi Federal; dan
b.   Pengujian peraturan perundang-undangan tingkat negara bagian terhadap undang-undang federal.[21] 
9.       Memutus pertanyaan yang diajukan oleh hakim yang sedang menangani suatu perkara konkret yang di dalamnya melibatkan suatu norma hukum internasional tentang persoalan:
a.    Apakah suatu norma hukum internasional telah menjadi bagian yang integral dalam hukum federal ?; dan
b.    Apakah norma hukum internasional yang dimaksud menimbulkan hak dan kewajiban bagi warga negara ?;[22]
10.    Memutus pertanyaan MK Negara Bagian manakala dalam menafsirkan Konstitusi Federal, MK Negara Bagian tersebut bermaksud menyimpangi Putusan MK Federal atau Putusan MK Negara Bagian lainnya;[23]
11.    Memutus pembubaran partai politik yang tujuan atau kegiatannya bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan Konstitusi;[24]
12.    Memutus sengketa hasil Pemilu yang telah ditetapkan oleh Bundestag;[25]
13.  Memutus dugaan Bundestag atau Bundesrat  mengenai pelanggaran Konstitusi atau UU federal oleh Presiden dalam rangka Impeachment Presiden;[26]

Pengujian Norma Abstrak (abstract norm review)
Di Jerman, terdapat dua model pengujian undang-undang (judicial review), yaitu abstract review dan concrete review. Pada bagian ini akan diuraikan mengenai model pengujian norma abstrak (abstract review).
Perlu digarisbawahi disini bahwa, baik abstract review maupun concrete review yang berlaku di Jerman semuanya berada dalam kerangka ex post review atau posteriori review. Artinya, aktifitas pengujian baru dapat dilakukan setelah UU atau peraturannya resmi disahkan dan diundangkan, bukan undang-undang yang masih dalam bentuk rancangan (RUU) seperti yang berlaku dalam sistem Perancis.[27]
Namun demikian penting untuk diketahui bahwa abstract review atau lebih lengkapnya a posteriori abstract review yang berlaku di Jerman ini hanya dapat diajukan oleh organ-organ negara tertentu saja. Sedangkan individu/perorangan tidak diberi hak untuk mengajukan pengujian jenis ini. Mekanisme pengujian konstitusional yang dapat diakses oleh individu/perorangan adalah mekanisme concrete review, itu pun harus melalui hakim pengadilan (judicial referral of constitutional question). Selain itu, ada satu lagi mekanisme yang dapat ditempuh oleh individu atau perorangan yang merasa hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar oleh tindakan pejabat atau badan publik, yakni melalui mekanisme constitutional complaint (verfassungsbescwerde).
Pihak-pihak (organ negara) yang dapat mengajukan permohonan abstract review di Jerman adalah: (1) Pemerintah Federal; (2) Pemerintah Negara Bagian; dan (3) 1/4 anggota Bundestag.[28]
Hal lain yang juga penting untuk dicatat dari sistem pengujian konstitusional yang berlaku di Jerman ini ialah bahwa MK Jerman memegang penuh kekuasaan pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review), baik dalam kerangka pengujian legalitas (judicial review on the legality of regulation) maupun dalam kerangka pengujian konstitusionalitas (judicial review on the legality of laws/statutes). Artinya, semua kegiatan judicial review di Jerman dipusatkan dan dikonsentrasikan pada MK Jerman.[29] Gambaran mengenai hal tersebut dijabarkan, salah satunya oleh Danielle E. Finck yang mengatakan bahwa:
The Constitutional Court has a monopoly position in that it alone can declare wether statutes valid or invalid (e.g judicial review) .....No other court, not even a high federal court, is empowered to declare a statute unconstitutional.”[30]

Pengujian Norma Konkret (Concrete Norm Review)
Selain menguji norma abstrak (abstract norm review), MK Jerman juga mempunyai wewenang menguji norma konkret yang disebut dengan istilah concrete norm review. Apa beda uji abstrak dengan uji konkret? bedanya ialah, uji abstrak dilakukan terhadap suatu RUU yang telah diterima secara final oleh Parlemen tapi belum diundangkan, sedang uji konkret adalah pengujian terhadap norma peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan/sudah berlaku. Hanya saja mekanisme pengujian norma konkret di Jerman baru dapat dilakukan setelah ada penyerahan dari hakim peradilan umum atau dengan kata lain pengujian ini berawal dari kasus konkret yang sedang berjalan di pengadilan. [31]
Pengujian norma konkret di Jerman pada asasnya merupakan suatu mekanisme penyerahan dari peradilan umum manakala hakim peradilan umum ragu akan konstitusionalitas suatu undang-undang yang menjadi dasar hukum dari perkara yang sedang ditanganinya. Jadi dalam konteks uji konkret di Jerman boleh dikatakan bahwa peradilan umum-lah yang menjadi trigger mechanism­-nya. Mula-mula hakim peradilan umum menyidangkan suatu perkara, namun apabila kemudian timbul keraguan mengenai konstitusionalitas peraturan yang menjadi dasar hukum perkara tersebut, maka disaat itulah hakim atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan para pihak, mengajukan permohonan uji konkret kepada MK. Hal ini diatur dalam Pasal 80 ayat (1) UU MK Jerman:
“If requirement of Article 100 (1) Basic Law are met, the court shall directly obtain a decision by the Federal Constitution Court.”
Paradigma teoritis menyebutkan bahwa concrete review timbul dari proses litigasi pada peradilan umum ketika hakim (ordinary judges)  merasa bimbang atas penerapan suatu undang-undang yang diduga inkonstitusional.[32] Permohonan concrete review dari peradilan umum kepada Mahkamah Konstitusi dilakukan melalui sistem penyerahan (referral).
Metode concrete review ini juga merupakan karakter khas dari judicial review di Amerika, dimana Supreme Court (Mahkamah Agung) berwenang menguji undang-undang terhadap UUD. Bedanya, karena pengujian undang-undang di Amerika dilakukan oleh Mahkamah Agung, maka MA di Amerika dapat langsung mengambil alih suatu perkara yang sedang ditangani oleh peradilan dibawahnya jika perkara tersebut termasuk kewenangan asli atau kewenangan absolut MA (original jurisdiction). Wewenang untuk mengambil alih atau perintah untuk menyerahkan perkara itu disebut writ of certiorari.
Di negara-negara eropa yang mempunyai MK disamping MA, writ of certiorari seperti di Amerika itu jelas tidak dikenal, karena di negara-negara tersebut berlaku dualisme yurisdiksi kekuasaan kehakiman; perkara-perkara konstitusional menjadi kompetensi absolut Mahkamah Konstitusi, sebaliknya perkara-perkara konkret merupakan kompetensi Mahkamah Agung.[33]
Dalam mekanisme concrete review, suatu perkara berasal dari peradilan umum. Penyerahan oleh badan peradilan umum itu baru dapat terjadi setelah para pihak berperkara atau hakim (ordinary judges) menilai bahwa UU yang mendasari perkara tertentu dipertanyakan konstitusionalitasnya.[34] Ketika penyerahan atau permohonan concrete review itu sudah dilakukan, persidangan perkara tersebut harus ditunda sampai adanya putusan MK mengenai konstitusionalitas UU tersebut.
Dalam sidang pengujian norma konkret, terjadilah apa yang disebut perbincangan konstitusional secara triumvirat. Perbincangan itu terjadi antara hakim peradilan umum, hakim konstitusi, dan legislator. Hal tersebut terjadi oleh karena memang pengujian tersebut bermula dari peradilan umum, sehingga jelaslah bahwa hakim peradilan umum juga terlibat atau ikut memberi keterangan dalam sidang pengujian norma konkret di MK. Dengan mekanisme yang demikian itu munculah suatu kesimpulan bahwa hakim-hakim pada peradilan umum tidak hanya bertugas menerapkan hukum, tetapi juga mempunyai tugas dan kewajiban mempertahankan nilai-nilai konstitusi.[35]
Dengan melihat mekanisme concrete review yang telah dipaparkan diatas, sebetulnya terdapat kemiripan yang bisa saja mengaburkan pemahaman kita tentang concrete review dan constitutional complaint. Kemiripan itu setidak-tidaknya mencakup 2 (dua) hal. Pertama, prosedur yang harus ditempuh secara umum sama, yaitu harus melalui peradilan umum. Kedua, sama-sama mempersoalkan/menggugat konstitusionalitas suatu produk hukum (peraturan perundang-undangan).
Namun demikian, untuk menjernihkan pemikiran kita mengenai irisan/perbedaan antara concrete review dengan constitutional complaint maka bolehlah kita mengidentifikasi perbedaan diantara keduanya. Pada concrete review, MK menilai konstitusionalitas suatu norma hukum tanpa menguji atau “mengadili” putusan pengadilan, karena memang penyerahan permohonan pengujian itu dilakukan sebelum diputusnya perkara dimaksud. Sedangkan pada constitutional complaint, yang diuji oleh MK justru ialah putusan final Mahkamah Agung sebagai last resort (upaya hukum terakhir) yang telah ditempuh oleh Pemohon namun dianggap melanggar hak-hak konstitusionalnya.
Jika diperhatikan, lembaga constitutional complaint di Jerman ini ternyata memiliki kemiripan dengan lembaga peninjauan kembali (PK) di Indonesia. Sebagaimana telah diketahui, PK atas putusan yang telah inkracht (berkekuatan hukum tetap) dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya kepada MA setelah ditemukannya novum. Sedangkan di Jerman, peninjauan kembali atau pengujian atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (putusan kasasi) dilakukan oleh organ yang berbeda, yaitu MK, melalui lembaga constitutional complaint. Demikian juga novum­ yang dapat dijadikan dalil diajukannya permohonan constitusional complaint adalah ditemukannya dugaan pelanggaran konstitusi. Artinya, permohonan constitutional complaint dapat diajukan ketika putusan final dari badan peradilan dilingkungan MA diduga telah dibuat/diputuskan diatas pelanggaran norma-norma konstitusi.
Melalui mekanisme pengujian ganda yang berlaku di Jerman; abstrack review dan concrete review, maka pembuatan norma hukum di Jerman diharapkan dan memang terbukti efektif dalam menjaga kualitas serta konstitusionalitas produk hukum di negeri itu.[36] Mengenai hal ini, Erhard Blankenburg mengatakan bahwa kini Jerman  telah menunjukan dirinya sebagai negara demokrasi yang stabil dengan pola negara hukumnya yang mapan.
Melalui pengujian abstrak, Parlemen dibatasi rambu-rambu konstitusional dalam membuat undang-undang agar tidak memaksakan membuat UU yang dinilai inkonstitusional. Sedang melalui pengujian konkret, Parlemen harus teliti dan cermat dalam memenuhi ketaatan formiil dan materiil suatu undang-undang, sebab jika tidak cermat maka kemungkinan besar produk karyanya akan diuji dan dibatalkan oleh MK Jerman. Senada dengan itu, model concrete review dipandang dapat memulihkan hak konstitusional yang dirugikan oleh suatu norma hukum, sedang dalam model abstract review, potensi pelanggaran terhadap konstitusi secara dini dapat dicegah. Sehingga pada akhirnya kedua model pengujian diatas dapat menghadirkan kemantapan sistem hukum dan keadilan konstitusional di Jerman.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup pengujian konstitusional meliputi pengujian norma abstrak (abstract norm review)  dan pengujian norma konkret (concrete norm review). Yang dimaksud dalam pengujian norma asbtrak dalam sistem Jerman ini ialah pengujian terhadap RUU yang telah diterima oleh Parlemen namun belum diundangkan (mirip di Perancis), pengujian norma abstrak model ini dapat juga disebut abstract norm preview atau a priori abstract norm review. Sedangkan yang termasuk dalam kategori pengujian norma konkret dalam sistem Jerman ialah pengujian terhadap suatu undang-undang dalam kasus konkret. Jadi di Jerman tidak dikenal adanya pengujian undang-undang seperti layaknya di Indonesia, karena yang berlaku disana adalah pengujian terhadap suatu RUU sebelum RUU itu berlaku, sementara jika suatu UU telah sah dan berlaku maka pengujian terhadapnya hanya dimungkinkan apabila berkaitan dengan kasus konkret, yaitu dalam hal adanya kasus yang sedang ditangani oleh Pengadilan biasa.
Sebagaimana lazimnya putusan-putusan yang dihasilkan oleh sebuah mahkamah konstitusi, Putusan MK Jerman pun bersifat prospektif atau berlaku ke depan, tidak berlaku ke belakang (retroaktif).[37]



[1] Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm.36.
[2] Perihal negara-negara bagian yang menjadi anggota Konfederasi Jerman yang dipersatukan melalui Kongres Wina 1815 ini dapat dibaca lebih lanjut dalam Wikipedia, Konfederasi Jerman, https://id.wikipedia.org/wiki/Konfederasi_Jerman, Diakses pada 15 Mei 2016.
[3] Alfred Rinken dalam Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Op. Cit., hlm. 39.
[4] Lihat Martin Borowski, The Beginnings of Germany’s Federal Constitutional Court, Journal Ratio Juris Vol. 16 No. 2, Juni 2003, (Malden, John Wiley & Sons Inc, 2003), hlm. 159-160.
[5] Teori dan alam pemikiran yang berkembang pada waktu itu adalah Supremasi Parlemen, dimana Parlemen dan segala produk yang dikeluarkannya dianggap sebagai yang paling tinggi atau supreme sehingga tidak terpikirkan waktu itu untuk menguji produk-produk Parlemen (undang-undang) yang diasumsikan sebagai perwujudan dan representasi dari rakyat yang berdaulat.
[6] Alfred Rinken dalam Jimly Asshiddie dan Ahmad Syahrizal, Op. Cit., hlm. 41.
[7] Ibid.
[8] Rapat atau kongres ini adalah forum tempat berlangsungnya pembahasan-pembahasan menuju pembentukan Konstitusi Jerman yang baru dimana puncaknya adalah dirampungkan dan disahkannya Konstitusi atau Basic Law pada tanggal 23 Mei 1949. Lihat sepenggal sejarah pembentukan Basis Law 1949 ini dalam David P. Currie, The Constitution of the Federal Republic of Germany, The University of Chicago Press, Chicago and London, 1994, hlm. 1-8.
[9] Martin Borowski, Op. Cit., hlm. 158 dan 159.
[10] Vide Pasal 2 ayat (2) Federal Constitutional Court Act.
[11] Vide Pasal 2 ayat (1) Federal Constitutional Court Act.
[12] Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hlm. 47-48.
[13] Pasal 93 ayat (1) angka 1 Basic Law 1949 (Konstitusi Federal Jerman).
[14] Ibid. Pasal 93 ayat (1) angka 2.
[15] Ibid. Pasal 93 ayat (1) angka 2a juncto Pasal 72 ayat (2).
[16] Ibid. Pasal 93 ayat (1) angka 3.
[17] Ibid. Pasal 93 ayat (1) angka 4.
[18] Ibid. Pasal 93 ayat (1) angka 4a.
[19] Untuk diketahui bahwa dalam hal pelanggaran hak otonomi pemerintahan itu diduga dilakukan oleh UU Negara Bagian maka pengaduan konstitusional atas persoalan tersebut hanya bisa diajukan kepada MK Federal sepanjang tidak tersedia mekanisme untuk mengajukannya ke MK Negara Bagian. Sebaliknya, jika MK Negara Bagian mengatur bahwa hal tersebut jatuh dalam yurisdiksinya maka persoalan tersebut harus diajukan kepadanya. Ibid. Pasal 93 ayat (1) angka 4b.
[20] Ibid. Pasal 98 ayat (2).
[21] Ibid. Pasa, 100 ayat (1)
[22] Ibid. Pasal 100 ayat (2).
[23] Ibid. Pasal 100 ayat (3).
[24] Ibid. Pasal 21 ayat (2).
[25] Ibid. Pasal 41 ayat (2).
[26] Ibid. Pasal 61.
[27] Lihat Pasal 93 ayat (1) angka 1 Basic Law 1949 (Konstitusi Federal Jerman) juncto Pasal 76 – Pasal 79 Unang-Undang Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Ketentuan-ketentuan tersebut berisi pengaturan mengenai mekanisme abstract review yang dilaksanakan secara ex post review atau a posteriori review, yakni pengujian terhadap suatu produk hukum yang telah resmi disahkan dan diundangkan. Lihat juga Danielle E Finck, Judicial Review: The United States Supreme Court Versus the German Constitutional Court,” Boston College International and Comparative Law Review, Vol. 20 No. 1, December 1997 (Boston: Boston University, 1997), hlm. 147.
[28] Lihat ketentuan yang mengatur mengenai hal ini dalam Pasal  93 ayat (1) angka 1 ( Basic Law 1949 (Konstitusi Federal Jerman).
[29] Keadaan ini sangat berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Menurut UUD 1945, tepatnya Pasal 24A dan Pasal 24C, kekuasaan judicial review di Indonesia dibagi/disebar ke dalam dua yurisdiksi yang terpisah satu sama lain. Judicial review atas peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU menjadi kewenangan MA. Sedangkan judicial review  atas UU terhadap UUD menjadi kewenangan MK.
[30] Danielle E. Finck, Op. Cit., hlm. 127 dan 145.
[31] Disebut peraturan perundang-undangan karena tidak hanya undang-undang saja yang dapat diuji melalui uji konkret, namun juga meliputi jenis peraturan yang lain seperti peraturan yang ditetapkan pemerintah federal, undang-undang negara bagian, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
[32]Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, Op. Cit., hlm. 61.
[33] Lihat Nomensen Sinamo, Perbandingan Hukum Tata Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2010, hlm. 162-163.
[34] Ibid.
[35] ibid.
[36] Erhard Blankenburg dalam I Dewa Gede Palguna, Constitutional Complaint (Pengaduan Konstitusional) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 399.
[37] Lihat Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi ...., Op. Cit., hlm. 46.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar